"Salah satu cara penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui forum mediasi. Sayangnya, forum ini tidak benar-benar dimanfaatkan para pihak, termasuk oleh para advokat dan hakim"
Dalam artikelnya di www.cybertokoh.com, Gede Widnyana Putra mengatakan, pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa penyelesaian sengketa hanya dapat diselesaikan melalui jalur peradilan. Menurut advokat pada Kantor Hukum Widnyana & Partners ini, pendapat tersebut tidak seluruhnya benar. Banyak cara yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan sengketa seperti sengketa perburuhan, warisan, maupun perusahaan. Alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan persengketaan selain melalui jalur peradilan adalah melalui apa yang dinamakan negosiasi, mediasi dan arbitrase.
Salah satu dari tiga alternatif penyelesaian sengketa di atas yang sering terdengar adalah mediasi. Widnyana mengatakan, sebenarnya alternatif penyelesaian sengketa ini telah lama dikenal dan digunakan oleh masyarakat tradisional dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Bahkan, cara semacam ini dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup di masyarakat.
Dalam mediasi, mediator tidak memaksakan penyelesaian atau mengambil kesimpulan yang mengikat, tetapi lebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat.
“Jika sudah ada kecocokan di antara para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai. Setelah oke lalu ditandatangani para pihak dan mediator,” jelasnya.
Namun, proses mediasi yang lazimnya tertera di sila keempat dari Pancasila ini sepertinya belum diterapkan dengan baik oleh para pencari keadilan, terutama para advokat. Dalam seminar yang diadakan Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA) Kamis (28/5) lalu, Eri Hertiawan partner dari Law Firm Assegaf Hamzah & Partners mengatakan, banyak pengacara yang belum memahami makna mediasi di pengadilan. “Pada saat mereka (kuasa hukum) duduk di ruang mediasi, mereka masih menganggap bahwa misi mereka adalah jawab jinawab seperti halnya proses di persidangan,” kata Eri. Dan sampai sekarang hal itu masih sering terjadi, tambahnya.
Ironisnya, hal itu tidak hanya dilakukan oleh para advokat. Hakim pun rupanya demikian. “Masih banyak hakim yang melihat forum mediasi adalah jawab jinawab sama seperti halnya dia berada di ruang sidang,” ujarnya. Jadi, selama ini forum mediasi memang tidak benar-benar dimanfaatkan oleh para pihak, sambungnya.
Sekedar mengingatkan, Mahkamah Agung (MA) telah memerintahkan agar forum mediasi harus dijalankan. Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008, jika mediasi tidak dilaksanakan akan tetapi keluar putusan, maka ancamannya adalah putusan bisa batal demi hukum. Jadi, kata Eri, di sini MA melihat forum mediasi sebagai sesuatu yang sangat perlu dan mendesak. Sebab, salah satu kegunaan forum ini adalah untuk mengurangi tumpukan perkara di MA.
Rico Akbar, seorang advokat yang menghadiri seminar juga mengatakan hal yang sama. Dia mengatakan, seharusnya para pelaku bisnis atau in house lawyer counsel bisa menyelami apa yang disebut penyelesaian secara damai. Menurutnya, selama ini penyelesaian sengketa di pengadilan jelas konfrontatif. “Di sana yang dicari adalah menang, bukan keadilan,” ketusnya. Lihat saja, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terdapat dua ribu lebih perkara perdata, separuhnya adalah perkara bisnis.
Pertanyaanya, berapa perkara yang bisa diselesaikan melalui jalur mediasi? Jumlahnya pasti bisa dihitung dengan jari.(Yoz)
0 komentar:
Posting Komentar
Untuk pengisian Komentar dimohon untuk menulis komentar yang tidak mengandung UNSUR SARA