Rasanya mustahil konsumen pada umumnya mengikuti jejak David M.L. Tobing yang rela mengeluarkan biaya perkara jutaan rupiah hanya untuk menggugat pelaku usaha melalui jalur Pengadilan hanya karena tuntutan ganti rugi sebesar seribu rupiah (Baca: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18220&cl=Berita).Kalaupun putusan pengadilan akhirnya memenangkan gugatan konsumen, hasilnya tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan. Belum lagi konsumen harus bersusah payah mengikuti proses peradilan yang rumit, panjang dan melelahkan. Dalam keadaan seperti ini Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan jawaban untuk membantu konsumen dalam menuntut hak-haknya secara cepat, sederhana dan murah.
Belakangan ini muncul berbagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang menampung berbagai jenis pengaduan konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha. Sebut saja misalnya fungsi advokasi pengaduan konsumen yang dijalankan oleh LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat), BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, LOS (Lembaga Ombudsman Swasta), Badan Mediasi Perbankan, Badan Mediasi Asuransi dan lain-lain. Kehadiran lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi penyelesaian sengketa konsumen tersebut telah menjadi kebutuhan dalam sistem ekonomi global yang semakin didominasi kekuasaan korporasi.
Semakin kuatnya pusaran arus neoliberalisme yang mempengaruhi sistem perkonomian global dengan jargon-jargon “pasar bebas” --yang nampaknya netral dan fair namun kenyataannya didesain sebagai penguasaan yang kuat terhadap yang lemah -- maka negara memiliki tangung jawab memberikan proteksi pada pihak yang lemah. Dalam konteks sengketa konsumen, kehadiran BPSK yang dibentuk pemerintah, semestinya bisa menjadi bagian dari upaya perlindungan konsumen (akhir) yang lemah ketika bersengketa dengan pelaku usaha yang lebih kuat (terutama bila pelaku usaha tersebut telah berwujud sebagai korporasi yang berskala nasional maupun multinasional/transnasional).BPSK --yang konon diadopsi dari model Small Claims Tribunal --dalam tataran konsep memiliki potensi menjadi pilihan penyelesaian sengketa konsumen yang diminati. Potensi-potesi tersebut antara lain: BPSK menjembatani antara mekanisme ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang simpel dan fleksibel dengan mekanisme Pengadilan yang memiliki otoritas; Perpaduan ketiga unsur yang seimbang (Konsumen, Pelaku Usaha dan Pemerintah) dalam BPSK merupakan kekuatan dalam menyelaraskan konflik kepentingan; BPSK berfungsi sebagai “Quasi Pengadilan Plus” (fungsi ajudikasi dan nonadjudikasi); dan Berdasarkan konsep yuridisnya BPSK berkedudukan di setiap Kota/Kabupaten. Jadi setidaknya jika dijalankan dengan baik BPSK telah memenuhi prinsip pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa sebagaimana telah diuraikan dalam uraian sebelumnya, sehingga diharapkan BPSK dapat memberikan pemerataan keadilan dan mengurangi beban pengadilan.
Ibarat jauh panggang dari api, dalam kenyataannya BPSK hingga kini justru semakin kehilangan pamor. Masyarakat pada umumnya lebih familiar dengan LPKSM semacam YLKI dari pada BPSK. Kekecewaan yang dialami oleh David M.L. Tobing terhadap “kemandulan” BPSK DKI Jakarta (http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20221&cl=Berita) barangkali juga mencerminkan wajah BPSK-BPSK di daerah lain. Sejumlah kendala sebagaimana disebutkan oleh Dr Susanti Adi Nugroho (Hakim Agung MARI) yakni: Pertama, kendala kelembagaan. Kedua, kendala pendanaan. Ketiga, kendala sumber daya manusia BPSK. Keempat, kendala peraturan. Kelima, kendala pembinaan dan pengawasan, dan minimnya koordinasi antaraparat penanggung jawab. Keenam, kurangnya sosialisasi dan rendahnya kesadaran hukum konsumen. Ketujuh, kurangnya respon dan pemahaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen. Terakhir, kedelapan, kurangnya respon masyarakat terhadap UU Perlindungan Konsumen dan lembaga BPSK (http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20221&cl=Berita). Kendala-kendala tersebut nampaknya yang menjadi faktor penyebab BPSK tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Pemerintah sebagai institusi pembentuk BPSK rasanya kurang serius dalam pengembangan BPSK sehingga benar-benar bisa berjalan optimal. Kesan umum yang nampak baik pemerintah pusat maupun daerah lebih sibuk mengejar dan melayani investor dari pada memikirkan kepentingan publik termasuk hak-hak konsumen.
Diantara kendala-kendala yang bersifat multidimensi dalam pengelolaan BPSK, terdapat dua hal yang menjadi sumber persoalan yakni keberadaan peraturan perundang-undangan dan sumber daya manusia. Kedua persoalan tersebut saling terkait dan menyebabkan munculnya persoalan-persoalan lain yang mengakibatkan mlempemnya BPSK selama ini.
Sebagaimana diketahui bahwa aturan yang terkait dengan BPSK dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) beserta peraturan pelaksanaannnya amat terbatas, sumir, kurang jelas dan bahkan beberapa subtansinya saling bertentangan. Tunjuk saja misalnya Pasal 56 ayat (2) UUPK disebutkan bahwa putusan BPSK (yang bersifat final dan mengikat berdasarkan Pasal 54 ayat (3)UUPK) dapat mintakan upaya hukum (keberatan) ke Pengadilan Negeri. Artinya, kekuatan putusan BPSK secara yuridis masih digantungkan pada supremasi pengadilan sehingga tidak benar-benar bersifat final. Padahal dalam praktek pengajuan keberatan atas putusan BPSK di Pengadilan berlaku hukum acara perdata umum sehingga justru menambah panjang proses penyelesaian sengketa konsumen.
Aturan mengenai batas waktu setiap tahap proses penyelesaian dengan hitungan hari kerja secara normatif cukup bagus guna mendorong terwujudnya prinsip penyelesaian sengketa konsumen yang cepat, sederhana dan biaya ringan, namun pelaksanaannya dalam praktek justru bisa menjadi kendala tersendiri. Pasal 55 UUPK misalnya menyebutkan bahwa BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 hari kerja. Batas waktu tersebut bisa menjadi terlampau singkat bila pelaku usaha tidak kooperatif (sulit dipanggil atau sengaja mengulur-ulur waktu), proses mediasi yang alot karena kasusnya kompleks, atau konsumen memerlukan waktu yang relatif panjang guna mempersiapkan bukti-bukti.
Persyaratan bagi anggota BPSK yang diatur dalam Kepmenperindag RI No. 301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat BPSK nampak lebih mengedepankan aspek formal dari pada kapasitas maupun kompetensinya. Misalnya saja persyaratan pangkat/golongan tertentu (minimal Pembina/IVa) bagi anggota BPSK dari unsur pemerintah seringkali mempersulit dalam pencarian dan perekrutan orang yang tepat. Pada umumnya pegawai pemerintah di daerah dengan golongan pangkat tersebut telah menduduki jabatan yang penting, establish dan tentunya “amat sibuk” dengan tugas dinasnya sehingga sulit terlibat aktif dan progresif di BPSK. Padahal SDM sangat penting dalam menunjang operasional dan pengembangan BPSK.
Cara Berhukum Yang Positivistik
Sekalipun diadopsi dari model Small Claims Tribunal (SCT) yang telah berjalan efektif di negara-negara maju namun BPSK ternyata tidak serupa dengan SCT. Sebagaimana yang diketahui bahwa SCT berasal dari negara-negara yang bertradisi hukum Common Law yang memiliki cara berhukum yang amat dinamis. Sedangkan Indonesia hingga saat ini tradisi hukum modernnya masih kental dengan nuansa Civil Law yang cara berhukumnya lebih bersumber pada hukum tertulis (peraturan perundang-undangan).
BPSK nampaknya didesain dengan memadukan kedua sistem hukum tersebut, dimana model SCT diadaptasikan dengan model pengadilan dan model ADR (Alternative Dispute Resolution) “khas” Indonesia. Hal ini nampak misalnya dari konsep BPSK yang berdasarkan UUPK merupakan salah satu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun dalam proses penyelesaian perkara diatur dengan “hukum acara” yang amat prosedural layaknya hukum acara perdata di pengadilan negeri. Perpaduan tersebut juga nampak dari terminologi yang dipergunakan di BPSK, misalnya cara penyelesaian sengketa terdapat istilah: Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase yang dikenal dalam ADR, namun pendukung cara penyelesaian tersebut dipergunakan istilah yang dikenal dalam Pengadilan, seperti: Majelis, Panitera, Persidangan dan Putusan.
Dengan institusi lembaga penyelesaian sengketa tersebut bisa mempengaruhi sikap dan perilaku anggota BPSK yang lebih merasa sebagai “Hakim Pengadilan Konsumen” dari pada sebagai Konsiliator, Mediator ataupun Arbiter. Lebih celaka lagi bila sikap dan perilaku tersebut diikuti dengan cara berhukum yang bersifat legal-positivistik. Mengapa cara penyelesaian sengketa konsumen di BPSK harus dihindarkan dari pendekatan hukum yang bersifat legal-positivistik? Pertama, karakteristik sengketa konsumen seringkali bersifat khas dan kompleks sehingga memerlukan cara penyelesaian yang komprehensif. Kedua, pembentukan sistem hukum yang tidak bisa dihindarkan dari pengaruh sistem ekonomi global yang bernuansa neoliberalisme dan kapitalistik, jelas tidak sesuai diterapkan secara “biasa” (business as usual) pada sengketa konsumen yang tingkat ketimpangan posisi tawarnya amat besar. Ketiga, keberadaan peraturan perundang-undangan (UUPK beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya) amat terbatas dan beberapa substansinya bermasalah.
Kekhawatiran BPSK terjebak dalam cara penyelesaian sengketa yang berpangkal pada pemahaman normatif-sempit kiranya cukup beralasan. Pengalaman empiris penulis sebagai anggota BPSK dan pengamatan dalam berinteraksi dengan anggota-anggota BPSK dalam berbagai forum telah menunjukkan adanya kecenderungan tersebut. Dalam forum komunikasi teknis BPSK se-Indonesia misalnya seringkali yang menjadi fokus pembahasan berkisar masalah kendala-kendala operasional yang bersumber dari UUPK dan peraturan pelaksanaannya. Kedudukan BPSK pada Pemerintah Kota/Kabupaten yang nota bene adalah lembaga eksekutif yang amat kental dengan budaya birokratisnya bila mempengaruhi perilaku anggota BPSK.
Wacana yang sering sekali muncul adalah adanya tuntutan terwujudnya peraturan perundang-undangan yang lengkap dan sempuna mengenai tata cara penyelesaian sengketa oleh BPSK. Dalam taraf yang parah kadang-kadang pedoman operasionalpun dipahami dan diterapkan secara ketat dan kaku melebihi hukum acara di pengadilan. Akibatnya proses penyelesaian sengketa tidak bisa menghasilkan penyelesaian yang optimal atau bahkan bisa mengalami kegagalan. Seringkali proses mediasi berujung pada putusan “sepakat untuk tidak sepakat” hanya karena terlalu kaku terhadap aturan batas waktu penyelesaian sengketa. Contoh kegagalan lainnya misalnya pengaduan konsumen ditolak hanya karena terlalu sempit dalam menafsirkan pengertian “konsumen akhir” atau terlalu sempit dalam menafsirkan domisili konsumen.
Jelaslah bahwa cara penyelesaian sengketa konsumen dengan pendekatan hukum yang legal-positivistik (bertumpu semata-mata pada sistem formal: aturan, keputusan administrasi, prosedur, birokrasi) tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Small Claims Procedures yang semestinya menjadi acuan operasionalisasi lembaga penyelesaian sengketa konsumen semacam BPSK.
Butuh Spirit Hukum Progresif
Menurut S. Sothi Rachagan (Regional Director of CI-ROAP) ada beberapa prinsip yang musti harus dipenuhi dalam pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen: 1) Aksesibilitas yakni bagaimana mengupayakan agar lembaga penyelesaian sengketa konsumen dapat diakses seluas-luasnya oleh masyarakat. Prinsip ini meliputi elemen-elemen seperti: biaya murah, prosedur yang sederhana dan mudah, pembuktian yang fleksibel, bersifat komprehensif, mudah diakses langsung, dan tersosialisasi serta tersedia di berbagai tempat; 2) Fairness dalam arti keadilan lebih diutamakan daripada kepastian hukum sehingga sebuah lembaga penyelesaian sengketa konsumen setidaknya harus bersifat mandiri (independent) dan dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat (public accountability); 3) Efektif, sehingga lembaga penyelesaian sengketa harus dibatasi cakupan perkaranya (kompleksitas dan nilai klaim) dan setiap perkara yang masuk harus diproses secepat mungkin tanpa mengabaikan kualitas penanganan perkara.
Untuk dapat dijalankannya prinsip-prinsip tersebut maka cara penyelesaian sengketa dengan pendekatan hukum yang legal-positivistik harus diubah dengan pendekatan hukum yang lebih kritis, responsif atau progresif. Secara singkat paradigma hukum progresif bertumpu pada filosofi dasarnya yakni: “hukum untuk manusia” yang dimaknai bahwa sistem manusia (sikap; perilaku) berada di atas sistem formal (aturan; keputusan administratif; prosedur; birokrasi). Dengan demikian bila sistem formal tidak bisa mewujudkan cara penyelesaian konsumen yang utuh, efektif dan adil atau memuaskan para pihak, maka sistem manusia harus mampu mewujudkan sendiri.
Flexibility principle misalnya sesuai dengan penjabaran hukum progresif sebagai cara berhukum yang membebaskan dari kelaziman yang bersumber dari aturan formal maupun praktek beracara. Dengan demikian maka BPSK harus kembali diletakkan sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan sehingga mestinya tata cara atau hukum acara yang diatur dalam hukum positif tidak boleh diberlakukan secara ketat layaknya proses persidangan di pengadilan, namun harus diterapkan sebagai pedoman tata cara penyelesaian sengketa yang fleksibel.
Baik sebagai konsiliator, mediator maupun arbiter, setiap Majelis BPSK harus mampu tidak saja sebagai penerap hukum namun juga sebagai kreator hukum. Setiap aturan hukum positif (UUPK dan peraturan pelaksanaannya) harus dibaca secara utuh yakni tidak hanya sebatas teksnya saja namun harus mendalam hingga pada makna filosofinya. Contoh kasus: seorang konsumen yang berdomisili di Semarang, namun lebih banyak aktivitasnya di Yogyakarta. Aturan yang menyebutkan bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan/pengaduan pada BPSK dimana konsumen berdomisili harus dimaknai sebagai aturan yang intinya tidak boleh merepotkan konsumen dalam mengajukan pengaduan atas sengketa dengan pelaku usaha yang dialaminya. Artinya BPSK Yogyakarta tidak boleh menolak pengaduan konsumen tersebut dengan dalih bunyi aturan hukum positifnya sesuai dengan domisili konsumen maka konsumen harus mengajukan aduannya pada BPSK Semarang.
Majelis BPSK harus mampu membuat terobosan-terobosan untuk mengatasi kebuntuan aturan tata cara penyelesaian sengketa. Untuk mengatasi batas waktu 21 hari kerja yang untuk proses persidangan kasus tertentu secara nyata memerlukan waktu yang lebih panjang, bisa saja dibuat kesepakatan (sebaiknya tertulis) antara para pihak yang bersengketa untuk tidak akan mempermasalahkan ketentuan batas waktu tersebut. Sekalipun hukum positifnya mengatakan bahwa cara penyelesaian secara konsiliasi, mediasi dan arbitrase bukan proses penyelesaian perkara secara berjenjang, namun bila terjadi kasus misalnya para pihak terlanjur memilih cara konsiliasi atau mediasi tapi setelah proses berjalan ternyata terjadi “dead lock tanpa hasil”, maka Majelis BPSK harus mampu meningkatkan cara penyelesaian dengan arbitrase.
Supaya tidak bertentangan dengan larangan penggunaan cara penyelesaian secara berjenjang, bisa saja Majelis BPSK membuat terobosan dengan tidak buru-buru menjatuhkan putusan terhadap sidang konsiliasi/mediasi yang gagal tersebut namun menawarkan pada para pihak untuk merubah cara penyelesaian sengketa (misalnya dengan cara arbitrase). Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa keadilan harus lebih diutamakan daripada kepastian.
Dalam arbitrasepun Majelis BPSK harus berperan aktif mengarahkan pada kedua belah pihak dan membuka dialog yang seluas-luasnya sehingga masing-masing pihak memahami benar duduk persoalannya dang mengerti benar bagaimana harus bertindak dalam proses persidangan. Pendekatan progresif diperlukan Majelis untuk membebaskan diri dari aturan main perwasitan yang “netral” sekalipun objektivitas dalam penilaian terhadap hal-hal yang terungkap dipersidangan tetap harus dijaga. Setidaknya diperlukan kreativitas untuk mengangkat posisi pihak konsumen yang lemah sehingga memiliki posisi tawar yang seimbang dalam “pertarungan” dengan pelaku usaha pada umumnya posisinya jauh lebih kuat.
Pertimbangan-pertimbangan maupun logika yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa-pun tidak semata-mata dari aspek yuridis semata. Balkan guna mencapai hasil penyelesaian yang optimal, aspek-aspek nonyuridis seperti aspek ekonomi, aspek psikologi dan aspek budaya harus lebih diutamakan.
Sekali lagi spirit progresivitas diperlukan agar majelis BPSK bukan lagi sebagai “hakim-hakiman” yang cukup puas dengan menjalankan apa bunyi peraturan perundang-undangan semata, namun lebih dari itu benar-benar mampu manjalankan peran sebagai konsiliator, mediator ataupun arbiter yang “mrantasi gawe” (handal, mampu menjalankan tugas atau menyelesaikan perkara dengan baik). Dengan demikian BPSK ke depan bisa menjadi alternatif penyelesaian sengketa konsumen yang berwibawa dan diminati.
*) Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, anggota SPHP dan mantan anggota BPSK Pemerintah Kota Yogyakarta periode 2002-2007.
0 komentar:
Posting Komentar
Untuk pengisian Komentar dimohon untuk menulis komentar yang tidak mengandung UNSUR SARA